Prasasti Biluluk, prasasti ini dikeluarkan antara tahun 1288-1317 Saka (1366-1397 M) ditemukan di Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan berupa tulisan yang digoreskan pada lempengan tembaga. Prasasti itu berasal dari masa Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan Wikramawardhana (1389-1429 M). Prasasti itu merupakan surat yang berisi titah raja yang ditujukan keluarga raja yang memerintah di Biluluk dan Tenggulunan. Berdasarkan penafsiran oleh Tim Peneliti buku Sejarah Sunan Drajat disebutkan bahwa Bluluk pada saai ini memang masuk kawasan Lamongan, sedangkan Tenggulunan kemungkinan sekarang masuk kawasan Kecamatan Solokuro. Tenggulunan dimungkinkan juga masuk kawasan Gresik, tepatnya berada di muara Sungai Lamong. (Tim Peneliti, 1998: 72). Tenggulunan di kawasan Gresik dimungkinkan terkait dengan prasasti tersebut, karena sungai Lamong merupakan salah satu jalur perdagangan yang menghubungkan antara pelabuhan Gresik dengan wilayah kekuasaan Majapahit. Adapun kandungan isi dari prasasti Biluluk dapat disimpilkan antara lain:
Orang-orang Biluluk diberi wewenang untuk menimbah air garam pada saat acara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dahulu, asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan dikenakan cukai.
Rakyat Biluluk dan Tenggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan, yakni akan menderita kecelakaan, antara lain: apabila mereka di padang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka, dan mati.
Memberi kebebasan pada rakyat Biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan, seperti berdagang, membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, membuat tepung, gula aren, atau tebu, dan membakar kapur tanpa dipungut beaya.
Status daerah perdikan Biluluk dan Tenggulunan ditingkatkan dari daerah sima menjadi daerah swatantra. Sebagai daerah swatantra atau daerah yang bisa mengurusi rumah tangganya sendiri, rakyatnya dicintai raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan serta bekal pada petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai, kapulaga, besi, kuali besi, rotan, dan kapas.
Petunjuk bahwa daerah Biluluk dan Tenggulunan diberi status swatantra agar tidak lagi dikuasai Sang Katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan, dan ketentraman.
Kegiatan perekonomian di Kerajaan Majapahit umumnya, di Biluluk dan Tenggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk setempat. Barang-barang dagangan di dua daerah ini yang menonjol antara lain: garam, gula kelapa atau aren, dan dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan termasuk barang dagangan yang mahal. Bagi rakyat Biluluk dan Tenggulunan, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di dua daerah ini adalah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan makan-makanan dari tepung umbi atau kentang.
0 komentar:
Posting Komentar