Cara sejarawan agar bisa mendeskripsikan kehidupan manusia di masa lampau adalah dengan menganalisis serangkaian peninggalan sejarahnya. Kamu tentu mengetahui apa definisi dan benluk peninggalan sejarah itu. Dari peninggalan sejarah itulah, kita bisa merekonstruksi beragam peristiwa yang terjadi pada masa lampau untuk dijadikan cerita sejarah. Begitu pula saat kita hendak meneliti dan menulis kehidupan manusia dan masyarakat awal yang ada di Kepulauan Indonesia. Melalui bantuan ilmu Arkeologi kita bisa mengungkap misteri kehidupan manusia di masa lampau. Serangkaian penemuan fosil, baik menyangkut manusia maupun hasil budayanya, bisa kita jadikan tahap awal untuk meneliti seperti apa wujud kehidupan mereka itu. Penemuan fosil itu memang bisa dijadikan pintu pembuka untuk mengungkap misteri kehidupan manusia yang telah terselimuti kabut selama ratusan ribu tahun itu. Namun, itu belum bisa menjamin bahwa rekonstruksi yang kita lakukan itu sesuai dengan faktanya. Karena, sebuah fosil bisa dianalisis dan diinterpretasi menjadi beragam cerita sesuai dengan visi, kepentingan, dan kejujuran para penelitinya. Inilah yang sering menimbulkan polemik di antara para ilmu'wan, seperti dalam kasus asal usul manusia modern. Apakah manusia itu berasal dari Afrika lalu menyebar ke berbagai tempat di dunia atau muncul di berbagai tempat secara sendiri-sendiri. Sebagai bagian dari masyarakat ilmiah, kita mesti kritis di dalam menyikapi temuan-temuan itu. Pembelajaran berikut ini akan mendeskripsikan teori-teori asal usul manusia di Indonesia, dilanjutkan dengan menganalisis perkembangan kehidupan serta kebudayaan manusia dan masyarakat awalnya.
A. Asal Usul dan Persebaran Manusia
1. "Hawa Mitokondria" dan "Adam Kromosom Y"
Asal Mula Manusia Modern Selama berpuluh-puluh tahun petunjuk satu-satunya dalam penelitian persebaran manusia purba adalah fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditinggalkan dalam pengembaraan mereka. Penelusuran asal usul manusia seperti mendapatkan darah baru, setelah penerapan teknologi genetika dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA) untuk mencari tahu hubungan kekerabatan antarpopulasi. Terobosan itu membuka pintu gerbang menuju pengungkapan cikal-bakal manusia modern atas dasar persamaan genetik. Setiap tetes darah manusia berisi buku sejarah yang ditulis dalam bahasa genetika. Kode-kode genetika manusia atau genom, adalah 99,9 persen identik di seluruh dunia. Selebihnya ialah DNA yang bertanggungjawab terhadap perbedaan individual, seperti warna mata, resiko penyakit, dan beberapa DNA yang tidak begitu jelas fungsinya. Suatu ketika dalam perubahan genetika yang langka, mutasi acak dan tidak berbahaya dapat terjadi dalam salah satu DNA yang tak berfungsi tersebut, yang kemudian diwariskan ke semua keturunan orang itu. Namun, mutasi-mutasi yang memberikan petunjuk tetap terlindungi. Salah satunya adalah DNA mitokondria (mtDNA), yang diteruskan utuh dari ibu ke anak. Demikian juga sebagian besar kromoson Y, yang menentukan laki-laki, berpindah utuh dari ayah ke anak laki-laki. Berdasarkan penelitian mtDNA dari berbagai populasi, para ilmuwan menyimpulkan, bahwa manusia modern sekarang ini semua merupakan satu keturunan dari satu nenek moyang ("Hawa" mitokondria). Hawa mitokondria segera bergabung dengan "Adam kromosom Y". Semua umat manusia terkait dengan Hawa mitokondria melalui rantai para ibu yang tak terpatahkan. Oleh karena itu, DNA Mitokondria dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah asal usul dan persebaran manusia dari sisi ibu (maternal). Orang-orang di dari berbagai belahan dunia memiliki garis keturunan berbeda, tetapi mereka mtDNA dan kromoson Y purba yang setara. Untuk mempelajari persebaran manusia purba/ penelitian DNA mitokondria ini menggunakan sumber genetik yang dapat bertahan dalam waktu lama, yaitu tulang-belulang yang sudah menjadi fosil. Kesimpulan itu membuka cakrawala baru bahwa manusia modern bukanlah keturunan dari manusia purba semacam Homo Sapiens yang hidup 500.000 tahun lalu, atau bahkan, spesies yang lebih tua seperti Homo Habilis (2,5-1,6 juta tahun lalu), Homo Ergaster (1/8-1,4 juta tahun lalu), dan Homo Erectus (1,5 juta tahun lalu). 2. Folimorfisme Polimorfisme adalah sifat keragaman sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang terjadi secara alamiah dan tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu yang khas. Sifat keberagaman gen (polimorfisme) ini juga dapat digunakan dalam rangka penelusuran asal usul manusia dan hubungan kekerabatan antara berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang satu dengan yang lain. Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga menggambarkan karakteristik suatu populasi. Oleh karena, itu jauh-dekatnya kekerabatan suatu kelompok suku bangsa dapat dilihat dari persamaan variasi dari suku bangsa tersebut. Semakin besar jumlah variasi yang memisahkan dua kelompok etnik, semakin jauh jarak kekerabatan antara kedua kelompok tersebut. Sebaliknya jika ada dua orang yang mtDNA-nya persis sama, maka kekerabatan di antara keduanya sangat dekat, mungkin satu ibu, satu nenek, atau satu nenek moyang. 3. Daerah Asal Manusia Pada pertengahan tahun 1980-an Allan Wilson dan rekan-rekan di University of California, Barkeley, menggunakan mtDNA untuk mengidentifikasikan tempat asal nenek moyang umat manusia. Mereka membandingkan mtDNA dari wanita-wanita di seluruh dunia dan menemukan bahwa wanita-wanita keturunan Afrika menunjukkan keanekaragaman dua kali lebih banyak daripada kaum wanita lain. Max Ingman, doktor genetik asal Amerika Serikat mengungkapkan hal senada dengan pendapat bahwa manusia modern berasal dari salah satu tempat di Afrika antara kurun waktu 100 - 200 ribu tahun lalu. Dari situ moyang manusia masa kini itu lantas menyebar dan mendiami tempat-tempat di luar Afrika. Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia purba. Sekitar 50.000 hingga 70.000 tahun silam, satu gelombang kecil manusia yang mungkin hanya berjumlah seribu orang dari Afrika menuju pantai-pantai Asia bagian Barat. Ada dua jalur tersedia menuju Asia. Pertama mengarah ke Lembah Sungai Nil, melintasi Semenanjung Sinai lalu ke utara lewat Levant. Namun, jalur yang satunya juga mengundang untuk dijelajahi, yaitu melintasi Laut Merah. Pada saat itu (70.000 tahun yang lalu) bumi memasuki zaman es terakhir dan permukaan laut menjadi lebih rendah karena air tertahan dalam gletser. Pada bagian tersempit di muara Laut Merah hanya berjarak beberapa kilometer. Dengan menggunakan perahu primitif, manusia modern dapat menyeberangi laut untuk pertama kalinya. Setelah berada di Asia, bukti genetis memperkirakan populasi terpecah. Satu kelompok tinggal sementara di Timur Tengah, sementara kelompok lain menyusuri pantai sekitar Semenanjung Arab, India dan wilayah Asia yang lebih jauh. Setiap generasi mungkin bergerak hanya beberapa kilometer lebih jauh. Para pengembara telah mencapai Australia Barat Daya 45.000 tahun lalu. Hal ini terbukti dengan penemuan fosil seorang pria di Lake Mungo. Fosil-fosil lain yang belum terungkap di dalam tanah mungkin berusia lebih tua yaitn sekitar 50.000 tahun yang lalu. Hal ini menjadi bukti paling awal manusia modern yang berada jauh dari Afrika. Tidak ada jejak fisik berupa fosil orang-orang ini sepanjang sekitar 13.000 kilometer dari Afrika ke Australia. Semua mungkin sudah lenyap saat air laut naik sesudah zaman es. Namun jejak genetika berlangsung terus. Beberapa kelompok pribumi pada kepulauan Andaman dekat Myanmar, Malaysia dan Papua Nugini, serta orang Aborigin di Australia memiliki tanda garis keturunan mitokondria purba.
B. Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia
Kehidupan manusia di mana pun dia berada, tidak pernah terlepas dari alam yang melingkunginya. Interaksi antara manusia dengan alam itulah yang bisa mendorong lahirnya kebudayaan. Oleh karena itu, cara paling baik untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal, bisa dimulai dengan menganalisis struktur dan umur bumi. Dan hal ini bisa diawali dengan meneliti fosil yang ditemukan. Dari situlah, kita bisa mengetahui seperti apa wujud manusia, kapan dia hidup, berapa umurnya, dan bagaimana bentuk kebudayaannya. Untuk bisa mengetahui bagaimana karakteristik bumi dari zaman ke zaman itu, kita perlu bantuan ilmu geologi dan geografi.
Menurut ilmu geologi, bumi itu dibagi menjadi beberapa zaman.
(1) Zaman Azoicum Periode mi terjadi kira-kira beberapa puluh juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini, belum ada binatang-binatang yang bertulang, yang hidup hanyalah binatang-binatang rendah.
(2) Zaman Palaeozoicum atau Zaman Pertama Periode ini terjadi kira-kira 19 juta tahun Sebelum Masehi. Hidup pada masa ini ikan dan binatang yang hidup di darat maupun di air.
(3) Zaman Mesozoicum atau Zaman Kedua Periode ini terjadi kira-kira 3,75 juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini telah hidup binatang reptil yang besar, ikan-ikan yang besar, dan beberapa binatang yang menyusui.
(4) Zaman Neozoicum Zaman ini terbagi lagi menjadi beberapa zaman, yaitu: a. Zaman Ketiga Periode ini terjadi kira-kira 2,5 juta tahun Sebelum Masehi. Pada periode ini, sudah banyak ditemukan binatang menyusui. Bahkan pada akhir zaman ini sudah, ada beberapa kera seperti manusia, misalnya gorila, orang utan, dan se-bagainya. b. Zaman Keempat Periode ini terjadi kira-kira 500.000 tahnn Sebelnm Masehi. Manusia dipastikan telah ada pada masa ini. Zaman ini terbagi menjadi dna periode, yaitu Diluvium atan zaman es dan Alluvium yaitu zaman yang kita alami sekarang, yang terdiri atas diluvium tua, tengah, dan muda. Dalam ilmu Geologi, zaman diluvium disebut juga zaman pleistosen atau zaman glasial atau zaman es. Sedangkan zaman alluvium disebut juga zaman Holosen di mana mulai hidup Homo sapiens. Kepulauan Indonesia sendiri pada zaman pleistosen yaitu saat manusia telah hidup dan berkembang, masih bersatu dengan daratan Asia Tenggara. Coba kamu amati peta Asia Tenggara pada zaman pleistosen. Karena air yang ada di Kutub Utara dan Selatan membeku hingga sampai ke lintang 60°, maka permukaan air laut turun sampai 70 meter dari keadaan sekarang. Salah satu akibatnya adalah wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan atau kontinen Asia dan wilayah Indonesia bagian timur bersatu dengan Benua Australia. Kamu tentu bisa menghubungkan fenomena ini dengan kemiripan flora dan fauna yang ada di kedua bagian Indonesia itu, dengan yang ada di kedua benua tersebut. Kebanyakan binatang yang ada di Indonesia bagian barat mempunyai kesamaan dengan yang ada di daratan Asia, sementara yang berada di kawasan Indonesia Timur mempunyai kemiripan dengan binatang yang ada di Benua Australia. Mungkinkah fenomena itu juga bisa digunakan untuk merunut asal usul manusianya? 1. Beragam Teori tentang Muncul dan Berkembangnya Manusia Kamu telah mengetahui pada zaman apa manusia ada di muka bumi. Pertanyaan mendasar yang mengemuka adalah pada periode apakah manusia itu muncul dan berkembang serta dari manakah asal usulnya? Permasalahan inilah yang hingga saat ini menjadi kontroversi dan perdebatan di antara para ilmuwan.
Berikut ini kita deskripsikan beberapa teori dan pendapat para ilmuwan yang berkaitan dengan asal-usul serta perkembangan manusia.
a. Kalangan Evolusionis
Tokoh-tokoh pemikir Yunani Kuno seperti Empodocles, Anaximander, dan Aristoteles berpendapat bahwa baik tumbuhan maupun hewan itu mengalami evolusi dan dari tubuh binatang tertentu berevolusi menjadi manusia. Mereka mengatakan bahwa binatang yang satu berasal dari binatang yang lain.
b. Ernst Haeckel (1834-1919) Ilmuwan biologi dari Jerman ini berpendapat bahwa asal usul kehidupan yang pertama berasal dari zat putih telur yang liat dan cair. Akibat pengaruh dari luar maka terciptalah bakteri, amuba, binatang berongga, ikan, amfibi, reptil, dan binatang yang menyusui anak. Binatang-binatang itn saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Pada zaman tersier (ketiga) dari binatang menyusui itu berkembang dan muncullah manusia. Haeckel berkesimpulan, bahwa nenek . moyang manusia itu berasal dari bangsa kera atau monyet dalam tingkatan yang teratur.
c. Charles Robert Darwin (1809-1882) Darwin adalah ilmuwan Inggris yang kemudian dikenal sebagai tokoh evolusi itu, memaparkan teorinya menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Teori Descendensi atau Turunan Dalam bukunya yang berjudul The Descen of Man (1871), Darwin berkata bahwa manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika (gorila dan simpanse). Teori lainnya menyebutkan bahwa makhluk yang lebih tinggi itu berasal dari makhluk yang lebih rendah. Akhirnya, semua makhluk hidup bisa di-kembalikan kepada beberapa bentuk asal. 2) Teori Natural Selection atau Seleksi Alam Teori ini mencoba member! keterangan tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang menyesuaikan diri kepada alam sekitarnya. Darwinisme adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa semua barang-barang yang hidup dapat maju perlahan-lahan naik ke atas. Keyakinan Darwin bahwa manusia itu berasal dari hewan, telah memicu perdebatan antarilmuwan dan kontroversi bahkan hingga kini. Dalam kerangka teori Darwin itu pulalah, berbagai penemuan fosil manusia purba yang ada di Indonesia senantiasa dikaitkan. d. J.H. Wieringen Ilmuwan ini menguraikan asal usul manusia berdasarkan peninggalan-peninggalan manusia yang ditemukan di lapisan bumi. Misalnya tahun 1856 ditemukan fosil di Lembah Neander, Erbefeld, Jerman Barat, yang kemudian disebut Homoneandertalensis. Ciri-ciri fosil itu, antara lain: tulang keningnya rendah, lekuk mata yang sangat besar, mempunyai lengkung alis, tulang roman mukanya sangat tebal, tengkoraknya besar, dan tergantung pada tulang belakang (tidak terietak di atasnya), tidak mempunyai dagu [belum pandai berbicara dengan tekanan suara), serta berbentuk moncong (bagian paras lebih ke depan dari tempat otak). Dari hasil identifikasi itu terlihat bahwa bentuk manusia tersebut menyerupai kera. Diperkirakan manusia tersebut hidup antara 75.000 hingga 30.000 tahun Sebelum Masehi. Namun, Wieringen berpendapat bahwa meskipun manusia awal itu menyerupai monyet, tetapi nenek moyang manusia bukanlah monyet. Alasan yang ia kemukakan adalah antara manusia dan monyet adalah dua jenis yang berdiri sendiri, serta masing-masing mempunyai jalan kemajuan sendiri-sendiri.
Lalu, bagaimana kita harus menjelaskan asal usul kehidupan awal manusia dan^ masyarakat di Indonesia? Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk melacak asal usul kehidupan manusia dan masyarakat awal di Indonesia.
b. Berdasarkan Rumpun Kebahasaan
Menurut penelitian, penduduk di wilayah Indonesia (selain orang Irian dan Halmahera) mempunyai banyak persamaan dalam hal ras, kebudayaan, serta bahasa. Dengan menggunakan hukum-hukiim suara, kita bisa menemukan adanya rumpun kebahasaan. "Bahasa menunjukkan bangsa, tiada bahasa hilanglah bangsa," kata Muhammad Yamin. Nah, ketika kita mempelajari bahasa Indonesia, kita mengenal adanya rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia Tenggara yang . disebut rumpun bahasa Austria. Rumpun bahasa ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu bahasa Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (Mundha) dan Mon Khmer di India Belakang, serta bahasa Austronesia yang meliputi bahasa Indonesia, Melanesia, Micronesia, dan Polinesia. Mungkinkah kekerabatan dalam pemakaian bahasa itu juga menunjukkan kekerabatan pemakainya? Mart kita simak informasi berikut ini. Berikut ini contoh bagaimana hubungan kekerabatan berbagai bahasa tentang kata-kata bilangan satu sampai dengan sepuluh dalam rumpun bahasa Austronesia. Proto-Austronesia esa dusa telu sepat lima enem pitu walu siwa sapuluq Taiwan ita dusa celu sepac lima unem picu alu siva ta-puluq Tagalog isa dalawa tatio apat lima anim pito walo siyam sampu Ma'anyan isa' rueh telo epat dime enem pitu balu' suei sapuluh Malagasy iray roa telo efatra dimy enina fito valo sivy folo Aceh sa duwa Ihee peuet limong nam tujoh lapan sikureu- ploh eng Toba Batak sada duwa tolu opat lima onom pitu uwalu sia sampulu Bali sa dua telu empat lima enem pitu akutus sia dasa Sasak esa due telu empat lime enem pitu' balu' siwa' sepulu Jawa Kuna sa rwa telu pat lima nem pitu wwalu sanga sapuluh Jawa Baru siji loro telu papat lima nem pitu wolu sanga sepuluh Sunda hiji dua tilu opat lima genep tujuh dalapan salapan sapuluh Madura settong dhua tello' 'empa' lema' ennem petto' ballu sanga' sapolo Melayu satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembi- sepuluh lan Minangkabau ciek duo tigo ampek limo anam tujuah dalapan sambilan puluah Rapanui tahi rua tocu ha rima ono hitu va'u iva 'ahuru Hawaii ekahi elua ekolu eha elima eono ehiku ewalu eiwa umi Terlihat, dan beberapa sebutan untuk bilangan satu sampai dengan sepuluh antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain memang ada kemiripan, Artinya, kita memang berasal dari rumpun bahasa yang sama. Permasalahannya adalah mungkinkah asal usul bangsa kita juga sama? Inilah yang hingga kini masih diperdebatkan Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, bila ditinjau dari fisiknya maka penduduk asli Indonesia terdiri atas tiga golongan. Pertama, golongan Negrito dengan ciri-ciri berkniit hitam, ranibul keriling, tubuhnya kecil dan tingginya rala-rala 1,5 in. Profil semacam ini terdapat pada orang Tapiro di Irian. Kedua, golongan Weddoid dengan ciri khas rambut beroihbak tegang, lengkung alis menjorok ke depan, dan kniitnya agak cokelat. Profil semacam ini terdapat pada bangsa Senoi di Malaka, Sakai di Siak, Kubu di Palembang, dan Tomnna di Sulawesi. Ketiga, golongan Melayu dengan ciri tubuh lebih tinggi dan ramping, wajahnya bundar, hidung pesek serta berambut hitam. Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu Proto-Melayu dan Deutero-Melayu. Von Eichstedt menamakannya sebagai Palaeo-Mongolid. Profil Proto-Melayu terdapat pada suku bangsa Mentawai, Toraja, dan Dayak. Kelompok ini disebut juga Melayu Tua. Profil Deutero-Melayu terdapat pada suku bangsa Sunda, Jawa, Minangkabau, Bali, dan Makassar. Kelompok ini disebut juga kelompok Melayu Muda.
Selanjutnya dari manakah asal usul bangsa Melayu itu? Setidaknya ada dua pendapat yang berkembang berkaitan dengan asal usul bangsa Melayu tersebut. Masing-masing didukung oleh tokoh beserta teorinya.
1. Bangsa Melayu Berasal dari Utara yaitu Asia Tengah
Ada beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa bangsa Melayu berasal dari daratan Asia bagian tengah.
Sekilas akan kita deskripsikan siapa tokoh dan teorinya dalam deskripsi berikut ini:
(a) Berdasarkan penelitian terhadap kapak tua (beliung batu) yang ada di sekitar hulu Sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan Hwang, mempunyai kemiripan dengan yang ada di Indonesia, la berkesimpulan bahwa kapak tua itu dibawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Indonesia (R.H. Geldern) (b) Setelah meneliti beberapa perkataan yang digunakan sehari-hari terutama mengenai nama-nama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan nama perahu, terdapat persamaan bahasa baik di Indonesia, Madagaskar, Filipina, Taiwan, dan Kepulauan Pasifik. Kesimpulannya: bahasa Melayu itu berasal dari satu induk yang ada di Asia (J.H.C. Kern). (c) Kesimpulan penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (yang digunakan beberapa pulau di Kepulauan Pasifik) ternyata serumpun. Sementara itu, E. Aymonier dan A. Cabaton menemukan bahwa bahasa Campa serumpun dengan bahasa Polinesia, di mana keduanya merupakan warisan dari bahasa Melayu Kontinental (W. Marsden). (d) Antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia terdapat kesamaan pembentukan kata. Kedua bahasa itu berasal dari bahasa yang lebih tua yang disebut Melayu Polinesia Purba. Sementara itu, A.H. Keane menemukan bahwa struktur bahasa Melayu serupa dengan bahasa di Kampuchea (J.R. Foster). (e) Ada kesamaan adat kebiasaan antara suku bangsa Naga di Assam (daerah Burma dan Tibet) dengan suku bangsa Melayu. Persamaan adat itu juga berkait erat dengan bahasanya. Dari situ tentu bahasa Melayu berasal dari Asia. Pendapat Logan didukung oleh G.K. Nieman dan R.M. Clark serta Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar. Maka Slamet Muljana berkesimpulan bahwa bahasa Austronesia (termasuk di dalamnya bahasa Melayu) berasal dari Asia. Sedangkan Asmah Haji Omar menguraikan bahwa perpindahan orang Melayu dari daratan Asia ke Indonesia tidak sekaligus. Ada yang melalui daratan yaitu tanah semenanjung melalui Lautan Hindia, ada pula yang melalui Laut Cina Selatan (J.R. Logam).
Secara ringkas, perpindahan orang Melayu dari Asia Tengah dapat dijelaskan dengan merunut latar belakang asal usul orang Negrito, Proto-Melayu, dan Deutero-Melayu. Sebelum kedatangan bangsa Melayu, Kepulauan Indonesia dihuni oleh penduduk asli yang disebut sebagai orang Negrito. Mereka hidup kira-kira sejak tahun 8000 Sebelum Masehi, tinggal di dalam gua dengan mata pencaharian berburu binatang. Alat yang mereka gunakan terbuat dari batu dan zaman ini disebut sebagai zaman batu pertengahan. Profil orang ini ditemukan pada bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal orang Negrito, Sakai, dan Semai yang hidup pada zaman paleolit dan mesolit. Gelombang pertama kedatangan orang-orang Asia Tengah diperkirakan pada tahun 2500 Sebelum Masehi. Mereka disebut sebagai Proto-Melayu. Peradabannya lebih maju apabila dibandingkan dengan orang Negrito, karena mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, barang pecah belah, dan perhiasan. Kelompok ini hidup berpindah-pindah dan hidup pada zaman neolitik atau zaman batu baru. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1500 Sebelum Masehi terdiri atas orang Deutero-Melayu. Peradabannya lebih maju lagi apabila dibandingkan dengan orang Proto-Melayu. Mereka telah mengenal kebudayaan logam karena menggunakan alat perburuan dan pertanian yang terbuat dari besi. Selain itu,, mereka telah menetap di suatu tempat, mendirikan kampung, bermasyarakat, dan menganut animisme. Mereka hidup di zaman logam di sekitar pantai Kepulauan Indonesia. Kedatangan Deutero-Melayu ini mendesak Proto-Melayu, hingga mereka pindah ke pedalaman.
2. Bangsa Melayu Berasal dari Nusantara
Ada beberapa ilmuwan yang mendukung teori ini. Beberapa di antaranya bisa diperhatikan pada deskripsi di bawah ini.
a) Setelah membuat perbandingan bahasa-bahasa di Sumatra, Jawa, Kalimantan, serta kawasan Polinesia, ia berkesimpulan bahwa asal bahasa yang ada di Kepulauan Indonesia berasal dari bahasa Jawa di Jawa dan bahasa Melayu di Sumatra. Kedua bahasa itu merupakan induk bahasa-bahasa di Indonesia. Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa bangsa Jawa dan bangsa Melayu telah mencapai peradaban yang tinggi pada abad XIX. Hal ini bisa dicapai, karena selama berabad-abad kedua bangsa itu telah mempunyai kebudayaan yang maju. Kesimpulannya: orang Melayu tidak berasal dari rnana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke tempat lain. Sedang bahasa Jawa adalah bahasa tertua yang menjadi induk dari bahasa-bahasa yang lain (J. Crawfurd).
b) Bangsa-bangsa berkulit cokelat yang hidup di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Filipina adalah bangsa Melayu yang berasal dari rumpun bahasa yang satu. Bahkan mereka bukan saja sama kulitnya, tetapi bentuk dan anggota badannya sama dan membedakannya dari bangsa Cina di sebelah timurnya atau bangsa India di sebelah baratnya (Sutan Takdir Alisyabana).
c) Dengan teori leksikostatistik dan teori migrasi ia meneliti asal usul bangsa dan bahasa Melayu. Kesimpulannya: tanah air dan nenek moyang bangsa Austronesia haruslah daerah Indonesia dan Filipina yang dahulunya merupakan kesatuan geografis (Gorys Keraf).
d) Pada saat es mencair pada zaman kuarter (satu juta tahun hingga 500.000 yang lalu), air menggenangi daratan-daratan yang rendah. Daratan tinggi membentuk pulau dan memisah daratan-daratan rendah. Saat inilah Semenanjung Malaka berpisah dengan daratan lain dan membentuk Kepulauan Indonesia. Dampaknya adalah tiga kelompok Homo sapiens yaitu orang Negrito di sekitar Irian dan Melanesia, orang Kaukasus di Indonesia Timur, Sulawesi dan Filipina, serta orang Mongoloid di utara dan barat lautAsia, berpisah satu dengan yang lain (Pendapat lainnya). Dari deskripsi di atas, kita bisa merekonstruksi kehadiran suatu bangsa dengan merunut penggunaan bahasanya. Perkembangan suatu bahasa memang bisa meliputi suatu kawasan yang sangat luas dan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Dari studi kebahasaan ini, kita bisa mengetahui dari mana sebuah bahasa berasal dan ke arah mana bahasa itu berkembang. Dari sinilah kila bisa mengetahui bangsa yang menjadi pemakai bahasa tersebut.
c. Berdasar Temuan Arkeologis
Sungguh beruntung kita hidup di wilayah Indonesia. Berbagai tempat di negara kita ternyata termasuk dalam wilayah "dunia lama" yang menjadi salah satu situs tempat ditemukannya manusia-manusia purba. Dari berbagai penemuan fosil di beberapa tempat, kita bisa sedikit menguak bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal peradaban. Setidaknya ada tiga fosil yang bisa dijadikan pembuka tabir kehidupan manusia di masa lampau. Pada tahnn 1898 seorang dokter Belanda, Engene Dubois menemukan sekelompok fosil di Lembah Sungai Bengawan Solo (di Desa Kedung Brubus dan Trinil), yang terdiri atas tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tulang paha. Isi otak makhink itu lebih besar apabila dibandingkan dengan jenis kera, namun jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan isi otak mannsia. (Perbandingan isi otaknya adalah 800 cc: 1.500 cc). Gigi pada fosil itu menunjukkan sifat manusia, sedang tulang pahanya menunjukkan ia bisa berdiri tegak. Fosil ini kemudian ia namai dengan Pithecanthropus erectus atau manusia kera yang berjalan tegak. Dubois meyakininya sebagai nenek moyang manusia zaman sekarang. Benarkah teori Dubois tersebut? Fenomena kehidupan manusia Indonesia di masa lampau semakin terkuak, setelah sekitar dua puluh fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah antara tahun 1931-1934. Ahli geologi dari Jerman yang bernama G.H.R. von Koenigswald menemukan empat betas fosil Pithecanthropus yang terdiri atas dua betas tengkorak dan dua tibia (tulang kering) di Desa Ngandong di sekitar Lembah Bengawan Solo. Semua fosil yang ditemukan pada lapisan pleistosen tengah itu kemudian diteliti secara mendalam oleh ahli palaeoantropologi kita yaitu Teuku Jacob. Dalam disertasi berjudul Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region yang ia pertahankan di Universitas Utrecht tahun 1967, fosil yang semula disebut Homo soloensis itu kemudian ia sebut Pithecanthropus soloensis. Diduga umurnya antara 800.000 hingga 200.000 tahun. Pada tahun 1938 ditemukan fosil di Desa Perning (Mojokerto) dan Trinil (Surakarta) yang diperkirakan berumur 2.000.000 tahun dan diberi nama Pithecanthropus mojokertensis. Von Koenigswald kembali menemukan fosil di Sangiran pada tahun 1941 yang terdiri atas bagian rahang bawah (mirip rahang manu¬sia) dengan ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran gorila jantan. jantan. Dari situ kemudian diberi nama Meganthropus palaeojavanicus atau* Manusia Besar dari Jawa zaman kuno (mega=besar, anthropus=manusia). Penemuan berikutnya terjadi di Desa Sangiran (lima fosil) dan Sambungmacan, Sragen serta berbagai tempat lainnya hingga semua fosil berjumlah 41 buah. Lalu, teori apa yang kita dapat setelah menganalisis serangkaian penemuan fosil-fosil tersebut? Teuku Jacob berpendapat bahwa makhluk Pithecanthropus itu belum berbudaya. Alasannya sebagai berikut. 1) Suatu fakta bahwa tidak pernah ditemukan adanya peralatan di sekitar penemuan fosil, yang menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berbudaya. 2) Volume otak Pithecanthropus masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan makhluk manusia sekarang. Volume otak bisa diperkirakan dari kapasitas rongga tengkoraknya. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa volume otak Pithecanthropus erectus sekitar 800 cc, Pithecanthropus soloensis (1.000 cc), sedang manusia sekarang rata-rata 1.500 cc. Dengan demikian, sulit dipercaya bahwa makhluk itu telah mempunyai akal. 3) Rongga mulut tengkorak Pithecanthropus menunjukkan bahwa makhluk itu belum bisa menggunakan bahasa. Dengan keterbatasan akal dan ketiadaan bahasa, sulit bagi makhluk ini untuk secara sadar membuat pola-pola kehidupan yang teratur. Akal dan bahasa memang merupakan kunci berkembangnya sebuah kebudayaan. Berkat adanya evolusi dan adaptasi terhadap lingkungan alamnya, tentu makhluk ini juga berkembang pula keahlian serta kebudayaannya. Namun, terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang menyertai penemuan fosil-fosil itu, adasatu hal yang disepakati oleh para ahli palaeoantropologi yaitu bahwa Pithecanthropus (termasuk di dalamnya Meganthropus palaeojavanicus) dianggap sebagai makhluk pendahuluan manusia di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Mereka hidup 2.000.000 hingga 200.000 tahun yang lalu, terdiri atas kelompok-kelompok berburu kecil beranggotakan 10 sampai 12 individu. Rata-rata setiap individu berumur 20 tahun, sehingga Pithecanthropus yang berusia 10 tahun telah merupakan makhluk dewasa. Maka, menjadi tidak mengherankan apabila di berbagai tempat di Indonesia ditemukan kelompok-kelompok fosil dari makhluk purba. Hanya saja, meskipun mereka mungkin telah menggunakan beberapa alat untuk membantu keterbatasan kemampuan organismenya, namun mereka belum dianggap sepenuhnya sebagai makhluk manusia yang berbudaya. Itulah deskripsi singkat tentang beberapa teori yang berkaitan dengan asal usul manusia di Indonesia. Tentu masih banyak lagi teori-teori yang lain yang diungkapkan oleh sejumlah ilmuwan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Antara lain kamu bisa mencarinya di situs-situs yang ada di internet atau melalui beragam pustaka. Misalnya pada situs http://www.harunyahya.com, di sini kamu bisa mengikuti perdebatan seputar penemuan-penemuan manusia dari beberapa ilmuwan. Dengan mengikuti perdebatan itu tentu kamu akan bertambah kritis, luas wawasan dan tidak ketinggalan zaman dalam mengikuti perkembangan mutakhir seputar teori-teori mengenai penemuan manusia. 2. Perkembangan Manusia Purba di Indonesia Konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah barat yang disebut Paparan Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta Sumatra dan menjadi satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah yang luas. Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan Benua Australia. Wilayah yang terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul itu meliputi Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kawasan ini kelak, oleh Wallacea disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di kedua daratan. Karenanya, tipe fauna di kedua daratan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan dukungan iklim serta suhu yang baik, evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk Primates) bisa berlangsung. Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai daerah dengan mobilitas yang cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia bisa mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan Indonesia-Australia. Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara serta di Filipina, mungkin bisa digunakan untuk merunut kehidupan Pithecanthropus yang tinggal di kawasan ini. Kemudahan komunikasi itu memungkinkan mereka untuk mengadakan migrasi ke dalam dua arah yang berlawanan. Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es mulai mencair. Karena air laut menjadi lebih tinggi dan menutupi bagian-bagian rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-pulau baru yang saling terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu menjadi tercerai-berai dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling berlainan. Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi, sehingga memungkinkan faktor-faktor evolusi seperti seleksi alam, arus gen, dan efek perintis untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin sekali berbeda dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen atau perjodohan antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula karena pigminasi yaitu proses pengerdilan individu sebagai akibat adanya seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia purba yang ditmukan di kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di Flores pada tahun 2004.
A. Asal Usul dan Persebaran Manusia
1. "Hawa Mitokondria" dan "Adam Kromosom Y"
Asal Mula Manusia Modern Selama berpuluh-puluh tahun petunjuk satu-satunya dalam penelitian persebaran manusia purba adalah fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditinggalkan dalam pengembaraan mereka. Penelusuran asal usul manusia seperti mendapatkan darah baru, setelah penerapan teknologi genetika dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA) untuk mencari tahu hubungan kekerabatan antarpopulasi. Terobosan itu membuka pintu gerbang menuju pengungkapan cikal-bakal manusia modern atas dasar persamaan genetik. Setiap tetes darah manusia berisi buku sejarah yang ditulis dalam bahasa genetika. Kode-kode genetika manusia atau genom, adalah 99,9 persen identik di seluruh dunia. Selebihnya ialah DNA yang bertanggungjawab terhadap perbedaan individual, seperti warna mata, resiko penyakit, dan beberapa DNA yang tidak begitu jelas fungsinya. Suatu ketika dalam perubahan genetika yang langka, mutasi acak dan tidak berbahaya dapat terjadi dalam salah satu DNA yang tak berfungsi tersebut, yang kemudian diwariskan ke semua keturunan orang itu. Namun, mutasi-mutasi yang memberikan petunjuk tetap terlindungi. Salah satunya adalah DNA mitokondria (mtDNA), yang diteruskan utuh dari ibu ke anak. Demikian juga sebagian besar kromoson Y, yang menentukan laki-laki, berpindah utuh dari ayah ke anak laki-laki. Berdasarkan penelitian mtDNA dari berbagai populasi, para ilmuwan menyimpulkan, bahwa manusia modern sekarang ini semua merupakan satu keturunan dari satu nenek moyang ("Hawa" mitokondria). Hawa mitokondria segera bergabung dengan "Adam kromosom Y". Semua umat manusia terkait dengan Hawa mitokondria melalui rantai para ibu yang tak terpatahkan. Oleh karena itu, DNA Mitokondria dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah asal usul dan persebaran manusia dari sisi ibu (maternal). Orang-orang di dari berbagai belahan dunia memiliki garis keturunan berbeda, tetapi mereka mtDNA dan kromoson Y purba yang setara. Untuk mempelajari persebaran manusia purba/ penelitian DNA mitokondria ini menggunakan sumber genetik yang dapat bertahan dalam waktu lama, yaitu tulang-belulang yang sudah menjadi fosil. Kesimpulan itu membuka cakrawala baru bahwa manusia modern bukanlah keturunan dari manusia purba semacam Homo Sapiens yang hidup 500.000 tahun lalu, atau bahkan, spesies yang lebih tua seperti Homo Habilis (2,5-1,6 juta tahun lalu), Homo Ergaster (1/8-1,4 juta tahun lalu), dan Homo Erectus (1,5 juta tahun lalu). 2. Folimorfisme Polimorfisme adalah sifat keragaman sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang terjadi secara alamiah dan tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu yang khas. Sifat keberagaman gen (polimorfisme) ini juga dapat digunakan dalam rangka penelusuran asal usul manusia dan hubungan kekerabatan antara berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang satu dengan yang lain. Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga menggambarkan karakteristik suatu populasi. Oleh karena, itu jauh-dekatnya kekerabatan suatu kelompok suku bangsa dapat dilihat dari persamaan variasi dari suku bangsa tersebut. Semakin besar jumlah variasi yang memisahkan dua kelompok etnik, semakin jauh jarak kekerabatan antara kedua kelompok tersebut. Sebaliknya jika ada dua orang yang mtDNA-nya persis sama, maka kekerabatan di antara keduanya sangat dekat, mungkin satu ibu, satu nenek, atau satu nenek moyang. 3. Daerah Asal Manusia Pada pertengahan tahun 1980-an Allan Wilson dan rekan-rekan di University of California, Barkeley, menggunakan mtDNA untuk mengidentifikasikan tempat asal nenek moyang umat manusia. Mereka membandingkan mtDNA dari wanita-wanita di seluruh dunia dan menemukan bahwa wanita-wanita keturunan Afrika menunjukkan keanekaragaman dua kali lebih banyak daripada kaum wanita lain. Max Ingman, doktor genetik asal Amerika Serikat mengungkapkan hal senada dengan pendapat bahwa manusia modern berasal dari salah satu tempat di Afrika antara kurun waktu 100 - 200 ribu tahun lalu. Dari situ moyang manusia masa kini itu lantas menyebar dan mendiami tempat-tempat di luar Afrika. Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia purba. Sekitar 50.000 hingga 70.000 tahun silam, satu gelombang kecil manusia yang mungkin hanya berjumlah seribu orang dari Afrika menuju pantai-pantai Asia bagian Barat. Ada dua jalur tersedia menuju Asia. Pertama mengarah ke Lembah Sungai Nil, melintasi Semenanjung Sinai lalu ke utara lewat Levant. Namun, jalur yang satunya juga mengundang untuk dijelajahi, yaitu melintasi Laut Merah. Pada saat itu (70.000 tahun yang lalu) bumi memasuki zaman es terakhir dan permukaan laut menjadi lebih rendah karena air tertahan dalam gletser. Pada bagian tersempit di muara Laut Merah hanya berjarak beberapa kilometer. Dengan menggunakan perahu primitif, manusia modern dapat menyeberangi laut untuk pertama kalinya. Setelah berada di Asia, bukti genetis memperkirakan populasi terpecah. Satu kelompok tinggal sementara di Timur Tengah, sementara kelompok lain menyusuri pantai sekitar Semenanjung Arab, India dan wilayah Asia yang lebih jauh. Setiap generasi mungkin bergerak hanya beberapa kilometer lebih jauh. Para pengembara telah mencapai Australia Barat Daya 45.000 tahun lalu. Hal ini terbukti dengan penemuan fosil seorang pria di Lake Mungo. Fosil-fosil lain yang belum terungkap di dalam tanah mungkin berusia lebih tua yaitn sekitar 50.000 tahun yang lalu. Hal ini menjadi bukti paling awal manusia modern yang berada jauh dari Afrika. Tidak ada jejak fisik berupa fosil orang-orang ini sepanjang sekitar 13.000 kilometer dari Afrika ke Australia. Semua mungkin sudah lenyap saat air laut naik sesudah zaman es. Namun jejak genetika berlangsung terus. Beberapa kelompok pribumi pada kepulauan Andaman dekat Myanmar, Malaysia dan Papua Nugini, serta orang Aborigin di Australia memiliki tanda garis keturunan mitokondria purba.
B. Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia
Kehidupan manusia di mana pun dia berada, tidak pernah terlepas dari alam yang melingkunginya. Interaksi antara manusia dengan alam itulah yang bisa mendorong lahirnya kebudayaan. Oleh karena itu, cara paling baik untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal, bisa dimulai dengan menganalisis struktur dan umur bumi. Dan hal ini bisa diawali dengan meneliti fosil yang ditemukan. Dari situlah, kita bisa mengetahui seperti apa wujud manusia, kapan dia hidup, berapa umurnya, dan bagaimana bentuk kebudayaannya. Untuk bisa mengetahui bagaimana karakteristik bumi dari zaman ke zaman itu, kita perlu bantuan ilmu geologi dan geografi.
Menurut ilmu geologi, bumi itu dibagi menjadi beberapa zaman.
(1) Zaman Azoicum Periode mi terjadi kira-kira beberapa puluh juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini, belum ada binatang-binatang yang bertulang, yang hidup hanyalah binatang-binatang rendah.
(2) Zaman Palaeozoicum atau Zaman Pertama Periode ini terjadi kira-kira 19 juta tahun Sebelum Masehi. Hidup pada masa ini ikan dan binatang yang hidup di darat maupun di air.
(3) Zaman Mesozoicum atau Zaman Kedua Periode ini terjadi kira-kira 3,75 juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini telah hidup binatang reptil yang besar, ikan-ikan yang besar, dan beberapa binatang yang menyusui.
(4) Zaman Neozoicum Zaman ini terbagi lagi menjadi beberapa zaman, yaitu: a. Zaman Ketiga Periode ini terjadi kira-kira 2,5 juta tahun Sebelum Masehi. Pada periode ini, sudah banyak ditemukan binatang menyusui. Bahkan pada akhir zaman ini sudah, ada beberapa kera seperti manusia, misalnya gorila, orang utan, dan se-bagainya. b. Zaman Keempat Periode ini terjadi kira-kira 500.000 tahnn Sebelnm Masehi. Manusia dipastikan telah ada pada masa ini. Zaman ini terbagi menjadi dna periode, yaitu Diluvium atan zaman es dan Alluvium yaitu zaman yang kita alami sekarang, yang terdiri atas diluvium tua, tengah, dan muda. Dalam ilmu Geologi, zaman diluvium disebut juga zaman pleistosen atau zaman glasial atau zaman es. Sedangkan zaman alluvium disebut juga zaman Holosen di mana mulai hidup Homo sapiens. Kepulauan Indonesia sendiri pada zaman pleistosen yaitu saat manusia telah hidup dan berkembang, masih bersatu dengan daratan Asia Tenggara. Coba kamu amati peta Asia Tenggara pada zaman pleistosen. Karena air yang ada di Kutub Utara dan Selatan membeku hingga sampai ke lintang 60°, maka permukaan air laut turun sampai 70 meter dari keadaan sekarang. Salah satu akibatnya adalah wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan atau kontinen Asia dan wilayah Indonesia bagian timur bersatu dengan Benua Australia. Kamu tentu bisa menghubungkan fenomena ini dengan kemiripan flora dan fauna yang ada di kedua bagian Indonesia itu, dengan yang ada di kedua benua tersebut. Kebanyakan binatang yang ada di Indonesia bagian barat mempunyai kesamaan dengan yang ada di daratan Asia, sementara yang berada di kawasan Indonesia Timur mempunyai kemiripan dengan binatang yang ada di Benua Australia. Mungkinkah fenomena itu juga bisa digunakan untuk merunut asal usul manusianya? 1. Beragam Teori tentang Muncul dan Berkembangnya Manusia Kamu telah mengetahui pada zaman apa manusia ada di muka bumi. Pertanyaan mendasar yang mengemuka adalah pada periode apakah manusia itu muncul dan berkembang serta dari manakah asal usulnya? Permasalahan inilah yang hingga saat ini menjadi kontroversi dan perdebatan di antara para ilmuwan.
Berikut ini kita deskripsikan beberapa teori dan pendapat para ilmuwan yang berkaitan dengan asal-usul serta perkembangan manusia.
a. Kalangan Evolusionis
Tokoh-tokoh pemikir Yunani Kuno seperti Empodocles, Anaximander, dan Aristoteles berpendapat bahwa baik tumbuhan maupun hewan itu mengalami evolusi dan dari tubuh binatang tertentu berevolusi menjadi manusia. Mereka mengatakan bahwa binatang yang satu berasal dari binatang yang lain.
b. Ernst Haeckel (1834-1919) Ilmuwan biologi dari Jerman ini berpendapat bahwa asal usul kehidupan yang pertama berasal dari zat putih telur yang liat dan cair. Akibat pengaruh dari luar maka terciptalah bakteri, amuba, binatang berongga, ikan, amfibi, reptil, dan binatang yang menyusui anak. Binatang-binatang itn saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Pada zaman tersier (ketiga) dari binatang menyusui itu berkembang dan muncullah manusia. Haeckel berkesimpulan, bahwa nenek . moyang manusia itu berasal dari bangsa kera atau monyet dalam tingkatan yang teratur.
c. Charles Robert Darwin (1809-1882) Darwin adalah ilmuwan Inggris yang kemudian dikenal sebagai tokoh evolusi itu, memaparkan teorinya menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Teori Descendensi atau Turunan Dalam bukunya yang berjudul The Descen of Man (1871), Darwin berkata bahwa manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika (gorila dan simpanse). Teori lainnya menyebutkan bahwa makhluk yang lebih tinggi itu berasal dari makhluk yang lebih rendah. Akhirnya, semua makhluk hidup bisa di-kembalikan kepada beberapa bentuk asal. 2) Teori Natural Selection atau Seleksi Alam Teori ini mencoba member! keterangan tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang menyesuaikan diri kepada alam sekitarnya. Darwinisme adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa semua barang-barang yang hidup dapat maju perlahan-lahan naik ke atas. Keyakinan Darwin bahwa manusia itu berasal dari hewan, telah memicu perdebatan antarilmuwan dan kontroversi bahkan hingga kini. Dalam kerangka teori Darwin itu pulalah, berbagai penemuan fosil manusia purba yang ada di Indonesia senantiasa dikaitkan. d. J.H. Wieringen Ilmuwan ini menguraikan asal usul manusia berdasarkan peninggalan-peninggalan manusia yang ditemukan di lapisan bumi. Misalnya tahun 1856 ditemukan fosil di Lembah Neander, Erbefeld, Jerman Barat, yang kemudian disebut Homoneandertalensis. Ciri-ciri fosil itu, antara lain: tulang keningnya rendah, lekuk mata yang sangat besar, mempunyai lengkung alis, tulang roman mukanya sangat tebal, tengkoraknya besar, dan tergantung pada tulang belakang (tidak terietak di atasnya), tidak mempunyai dagu [belum pandai berbicara dengan tekanan suara), serta berbentuk moncong (bagian paras lebih ke depan dari tempat otak). Dari hasil identifikasi itu terlihat bahwa bentuk manusia tersebut menyerupai kera. Diperkirakan manusia tersebut hidup antara 75.000 hingga 30.000 tahun Sebelum Masehi. Namun, Wieringen berpendapat bahwa meskipun manusia awal itu menyerupai monyet, tetapi nenek moyang manusia bukanlah monyet. Alasan yang ia kemukakan adalah antara manusia dan monyet adalah dua jenis yang berdiri sendiri, serta masing-masing mempunyai jalan kemajuan sendiri-sendiri.
Lalu, bagaimana kita harus menjelaskan asal usul kehidupan awal manusia dan^ masyarakat di Indonesia? Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk melacak asal usul kehidupan manusia dan masyarakat awal di Indonesia.
b. Berdasarkan Rumpun Kebahasaan
Menurut penelitian, penduduk di wilayah Indonesia (selain orang Irian dan Halmahera) mempunyai banyak persamaan dalam hal ras, kebudayaan, serta bahasa. Dengan menggunakan hukum-hukiim suara, kita bisa menemukan adanya rumpun kebahasaan. "Bahasa menunjukkan bangsa, tiada bahasa hilanglah bangsa," kata Muhammad Yamin. Nah, ketika kita mempelajari bahasa Indonesia, kita mengenal adanya rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia Tenggara yang . disebut rumpun bahasa Austria. Rumpun bahasa ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu bahasa Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (Mundha) dan Mon Khmer di India Belakang, serta bahasa Austronesia yang meliputi bahasa Indonesia, Melanesia, Micronesia, dan Polinesia. Mungkinkah kekerabatan dalam pemakaian bahasa itu juga menunjukkan kekerabatan pemakainya? Mart kita simak informasi berikut ini. Berikut ini contoh bagaimana hubungan kekerabatan berbagai bahasa tentang kata-kata bilangan satu sampai dengan sepuluh dalam rumpun bahasa Austronesia. Proto-Austronesia esa dusa telu sepat lima enem pitu walu siwa sapuluq Taiwan ita dusa celu sepac lima unem picu alu siva ta-puluq Tagalog isa dalawa tatio apat lima anim pito walo siyam sampu Ma'anyan isa' rueh telo epat dime enem pitu balu' suei sapuluh Malagasy iray roa telo efatra dimy enina fito valo sivy folo Aceh sa duwa Ihee peuet limong nam tujoh lapan sikureu- ploh eng Toba Batak sada duwa tolu opat lima onom pitu uwalu sia sampulu Bali sa dua telu empat lima enem pitu akutus sia dasa Sasak esa due telu empat lime enem pitu' balu' siwa' sepulu Jawa Kuna sa rwa telu pat lima nem pitu wwalu sanga sapuluh Jawa Baru siji loro telu papat lima nem pitu wolu sanga sepuluh Sunda hiji dua tilu opat lima genep tujuh dalapan salapan sapuluh Madura settong dhua tello' 'empa' lema' ennem petto' ballu sanga' sapolo Melayu satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembi- sepuluh lan Minangkabau ciek duo tigo ampek limo anam tujuah dalapan sambilan puluah Rapanui tahi rua tocu ha rima ono hitu va'u iva 'ahuru Hawaii ekahi elua ekolu eha elima eono ehiku ewalu eiwa umi Terlihat, dan beberapa sebutan untuk bilangan satu sampai dengan sepuluh antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain memang ada kemiripan, Artinya, kita memang berasal dari rumpun bahasa yang sama. Permasalahannya adalah mungkinkah asal usul bangsa kita juga sama? Inilah yang hingga kini masih diperdebatkan Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, bila ditinjau dari fisiknya maka penduduk asli Indonesia terdiri atas tiga golongan. Pertama, golongan Negrito dengan ciri-ciri berkniit hitam, ranibul keriling, tubuhnya kecil dan tingginya rala-rala 1,5 in. Profil semacam ini terdapat pada orang Tapiro di Irian. Kedua, golongan Weddoid dengan ciri khas rambut beroihbak tegang, lengkung alis menjorok ke depan, dan kniitnya agak cokelat. Profil semacam ini terdapat pada bangsa Senoi di Malaka, Sakai di Siak, Kubu di Palembang, dan Tomnna di Sulawesi. Ketiga, golongan Melayu dengan ciri tubuh lebih tinggi dan ramping, wajahnya bundar, hidung pesek serta berambut hitam. Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu Proto-Melayu dan Deutero-Melayu. Von Eichstedt menamakannya sebagai Palaeo-Mongolid. Profil Proto-Melayu terdapat pada suku bangsa Mentawai, Toraja, dan Dayak. Kelompok ini disebut juga Melayu Tua. Profil Deutero-Melayu terdapat pada suku bangsa Sunda, Jawa, Minangkabau, Bali, dan Makassar. Kelompok ini disebut juga kelompok Melayu Muda.
Selanjutnya dari manakah asal usul bangsa Melayu itu? Setidaknya ada dua pendapat yang berkembang berkaitan dengan asal usul bangsa Melayu tersebut. Masing-masing didukung oleh tokoh beserta teorinya.
1. Bangsa Melayu Berasal dari Utara yaitu Asia Tengah
Ada beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa bangsa Melayu berasal dari daratan Asia bagian tengah.
Sekilas akan kita deskripsikan siapa tokoh dan teorinya dalam deskripsi berikut ini:
(a) Berdasarkan penelitian terhadap kapak tua (beliung batu) yang ada di sekitar hulu Sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan Hwang, mempunyai kemiripan dengan yang ada di Indonesia, la berkesimpulan bahwa kapak tua itu dibawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Indonesia (R.H. Geldern) (b) Setelah meneliti beberapa perkataan yang digunakan sehari-hari terutama mengenai nama-nama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan nama perahu, terdapat persamaan bahasa baik di Indonesia, Madagaskar, Filipina, Taiwan, dan Kepulauan Pasifik. Kesimpulannya: bahasa Melayu itu berasal dari satu induk yang ada di Asia (J.H.C. Kern). (c) Kesimpulan penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (yang digunakan beberapa pulau di Kepulauan Pasifik) ternyata serumpun. Sementara itu, E. Aymonier dan A. Cabaton menemukan bahwa bahasa Campa serumpun dengan bahasa Polinesia, di mana keduanya merupakan warisan dari bahasa Melayu Kontinental (W. Marsden). (d) Antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia terdapat kesamaan pembentukan kata. Kedua bahasa itu berasal dari bahasa yang lebih tua yang disebut Melayu Polinesia Purba. Sementara itu, A.H. Keane menemukan bahwa struktur bahasa Melayu serupa dengan bahasa di Kampuchea (J.R. Foster). (e) Ada kesamaan adat kebiasaan antara suku bangsa Naga di Assam (daerah Burma dan Tibet) dengan suku bangsa Melayu. Persamaan adat itu juga berkait erat dengan bahasanya. Dari situ tentu bahasa Melayu berasal dari Asia. Pendapat Logan didukung oleh G.K. Nieman dan R.M. Clark serta Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar. Maka Slamet Muljana berkesimpulan bahwa bahasa Austronesia (termasuk di dalamnya bahasa Melayu) berasal dari Asia. Sedangkan Asmah Haji Omar menguraikan bahwa perpindahan orang Melayu dari daratan Asia ke Indonesia tidak sekaligus. Ada yang melalui daratan yaitu tanah semenanjung melalui Lautan Hindia, ada pula yang melalui Laut Cina Selatan (J.R. Logam).
Secara ringkas, perpindahan orang Melayu dari Asia Tengah dapat dijelaskan dengan merunut latar belakang asal usul orang Negrito, Proto-Melayu, dan Deutero-Melayu. Sebelum kedatangan bangsa Melayu, Kepulauan Indonesia dihuni oleh penduduk asli yang disebut sebagai orang Negrito. Mereka hidup kira-kira sejak tahun 8000 Sebelum Masehi, tinggal di dalam gua dengan mata pencaharian berburu binatang. Alat yang mereka gunakan terbuat dari batu dan zaman ini disebut sebagai zaman batu pertengahan. Profil orang ini ditemukan pada bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal orang Negrito, Sakai, dan Semai yang hidup pada zaman paleolit dan mesolit. Gelombang pertama kedatangan orang-orang Asia Tengah diperkirakan pada tahun 2500 Sebelum Masehi. Mereka disebut sebagai Proto-Melayu. Peradabannya lebih maju apabila dibandingkan dengan orang Negrito, karena mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, barang pecah belah, dan perhiasan. Kelompok ini hidup berpindah-pindah dan hidup pada zaman neolitik atau zaman batu baru. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1500 Sebelum Masehi terdiri atas orang Deutero-Melayu. Peradabannya lebih maju lagi apabila dibandingkan dengan orang Proto-Melayu. Mereka telah mengenal kebudayaan logam karena menggunakan alat perburuan dan pertanian yang terbuat dari besi. Selain itu,, mereka telah menetap di suatu tempat, mendirikan kampung, bermasyarakat, dan menganut animisme. Mereka hidup di zaman logam di sekitar pantai Kepulauan Indonesia. Kedatangan Deutero-Melayu ini mendesak Proto-Melayu, hingga mereka pindah ke pedalaman.
2. Bangsa Melayu Berasal dari Nusantara
Ada beberapa ilmuwan yang mendukung teori ini. Beberapa di antaranya bisa diperhatikan pada deskripsi di bawah ini.
a) Setelah membuat perbandingan bahasa-bahasa di Sumatra, Jawa, Kalimantan, serta kawasan Polinesia, ia berkesimpulan bahwa asal bahasa yang ada di Kepulauan Indonesia berasal dari bahasa Jawa di Jawa dan bahasa Melayu di Sumatra. Kedua bahasa itu merupakan induk bahasa-bahasa di Indonesia. Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa bangsa Jawa dan bangsa Melayu telah mencapai peradaban yang tinggi pada abad XIX. Hal ini bisa dicapai, karena selama berabad-abad kedua bangsa itu telah mempunyai kebudayaan yang maju. Kesimpulannya: orang Melayu tidak berasal dari rnana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke tempat lain. Sedang bahasa Jawa adalah bahasa tertua yang menjadi induk dari bahasa-bahasa yang lain (J. Crawfurd).
b) Bangsa-bangsa berkulit cokelat yang hidup di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Filipina adalah bangsa Melayu yang berasal dari rumpun bahasa yang satu. Bahkan mereka bukan saja sama kulitnya, tetapi bentuk dan anggota badannya sama dan membedakannya dari bangsa Cina di sebelah timurnya atau bangsa India di sebelah baratnya (Sutan Takdir Alisyabana).
c) Dengan teori leksikostatistik dan teori migrasi ia meneliti asal usul bangsa dan bahasa Melayu. Kesimpulannya: tanah air dan nenek moyang bangsa Austronesia haruslah daerah Indonesia dan Filipina yang dahulunya merupakan kesatuan geografis (Gorys Keraf).
d) Pada saat es mencair pada zaman kuarter (satu juta tahun hingga 500.000 yang lalu), air menggenangi daratan-daratan yang rendah. Daratan tinggi membentuk pulau dan memisah daratan-daratan rendah. Saat inilah Semenanjung Malaka berpisah dengan daratan lain dan membentuk Kepulauan Indonesia. Dampaknya adalah tiga kelompok Homo sapiens yaitu orang Negrito di sekitar Irian dan Melanesia, orang Kaukasus di Indonesia Timur, Sulawesi dan Filipina, serta orang Mongoloid di utara dan barat lautAsia, berpisah satu dengan yang lain (Pendapat lainnya). Dari deskripsi di atas, kita bisa merekonstruksi kehadiran suatu bangsa dengan merunut penggunaan bahasanya. Perkembangan suatu bahasa memang bisa meliputi suatu kawasan yang sangat luas dan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Dari studi kebahasaan ini, kita bisa mengetahui dari mana sebuah bahasa berasal dan ke arah mana bahasa itu berkembang. Dari sinilah kila bisa mengetahui bangsa yang menjadi pemakai bahasa tersebut.
c. Berdasar Temuan Arkeologis
Sungguh beruntung kita hidup di wilayah Indonesia. Berbagai tempat di negara kita ternyata termasuk dalam wilayah "dunia lama" yang menjadi salah satu situs tempat ditemukannya manusia-manusia purba. Dari berbagai penemuan fosil di beberapa tempat, kita bisa sedikit menguak bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal peradaban. Setidaknya ada tiga fosil yang bisa dijadikan pembuka tabir kehidupan manusia di masa lampau. Pada tahnn 1898 seorang dokter Belanda, Engene Dubois menemukan sekelompok fosil di Lembah Sungai Bengawan Solo (di Desa Kedung Brubus dan Trinil), yang terdiri atas tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tulang paha. Isi otak makhink itu lebih besar apabila dibandingkan dengan jenis kera, namun jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan isi otak mannsia. (Perbandingan isi otaknya adalah 800 cc: 1.500 cc). Gigi pada fosil itu menunjukkan sifat manusia, sedang tulang pahanya menunjukkan ia bisa berdiri tegak. Fosil ini kemudian ia namai dengan Pithecanthropus erectus atau manusia kera yang berjalan tegak. Dubois meyakininya sebagai nenek moyang manusia zaman sekarang. Benarkah teori Dubois tersebut? Fenomena kehidupan manusia Indonesia di masa lampau semakin terkuak, setelah sekitar dua puluh fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah antara tahun 1931-1934. Ahli geologi dari Jerman yang bernama G.H.R. von Koenigswald menemukan empat betas fosil Pithecanthropus yang terdiri atas dua betas tengkorak dan dua tibia (tulang kering) di Desa Ngandong di sekitar Lembah Bengawan Solo. Semua fosil yang ditemukan pada lapisan pleistosen tengah itu kemudian diteliti secara mendalam oleh ahli palaeoantropologi kita yaitu Teuku Jacob. Dalam disertasi berjudul Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region yang ia pertahankan di Universitas Utrecht tahun 1967, fosil yang semula disebut Homo soloensis itu kemudian ia sebut Pithecanthropus soloensis. Diduga umurnya antara 800.000 hingga 200.000 tahun. Pada tahun 1938 ditemukan fosil di Desa Perning (Mojokerto) dan Trinil (Surakarta) yang diperkirakan berumur 2.000.000 tahun dan diberi nama Pithecanthropus mojokertensis. Von Koenigswald kembali menemukan fosil di Sangiran pada tahun 1941 yang terdiri atas bagian rahang bawah (mirip rahang manu¬sia) dengan ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran gorila jantan. jantan. Dari situ kemudian diberi nama Meganthropus palaeojavanicus atau* Manusia Besar dari Jawa zaman kuno (mega=besar, anthropus=manusia). Penemuan berikutnya terjadi di Desa Sangiran (lima fosil) dan Sambungmacan, Sragen serta berbagai tempat lainnya hingga semua fosil berjumlah 41 buah. Lalu, teori apa yang kita dapat setelah menganalisis serangkaian penemuan fosil-fosil tersebut? Teuku Jacob berpendapat bahwa makhluk Pithecanthropus itu belum berbudaya. Alasannya sebagai berikut. 1) Suatu fakta bahwa tidak pernah ditemukan adanya peralatan di sekitar penemuan fosil, yang menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berbudaya. 2) Volume otak Pithecanthropus masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan makhluk manusia sekarang. Volume otak bisa diperkirakan dari kapasitas rongga tengkoraknya. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa volume otak Pithecanthropus erectus sekitar 800 cc, Pithecanthropus soloensis (1.000 cc), sedang manusia sekarang rata-rata 1.500 cc. Dengan demikian, sulit dipercaya bahwa makhluk itu telah mempunyai akal. 3) Rongga mulut tengkorak Pithecanthropus menunjukkan bahwa makhluk itu belum bisa menggunakan bahasa. Dengan keterbatasan akal dan ketiadaan bahasa, sulit bagi makhluk ini untuk secara sadar membuat pola-pola kehidupan yang teratur. Akal dan bahasa memang merupakan kunci berkembangnya sebuah kebudayaan. Berkat adanya evolusi dan adaptasi terhadap lingkungan alamnya, tentu makhluk ini juga berkembang pula keahlian serta kebudayaannya. Namun, terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang menyertai penemuan fosil-fosil itu, adasatu hal yang disepakati oleh para ahli palaeoantropologi yaitu bahwa Pithecanthropus (termasuk di dalamnya Meganthropus palaeojavanicus) dianggap sebagai makhluk pendahuluan manusia di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Mereka hidup 2.000.000 hingga 200.000 tahun yang lalu, terdiri atas kelompok-kelompok berburu kecil beranggotakan 10 sampai 12 individu. Rata-rata setiap individu berumur 20 tahun, sehingga Pithecanthropus yang berusia 10 tahun telah merupakan makhluk dewasa. Maka, menjadi tidak mengherankan apabila di berbagai tempat di Indonesia ditemukan kelompok-kelompok fosil dari makhluk purba. Hanya saja, meskipun mereka mungkin telah menggunakan beberapa alat untuk membantu keterbatasan kemampuan organismenya, namun mereka belum dianggap sepenuhnya sebagai makhluk manusia yang berbudaya. Itulah deskripsi singkat tentang beberapa teori yang berkaitan dengan asal usul manusia di Indonesia. Tentu masih banyak lagi teori-teori yang lain yang diungkapkan oleh sejumlah ilmuwan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Antara lain kamu bisa mencarinya di situs-situs yang ada di internet atau melalui beragam pustaka. Misalnya pada situs http://www.harunyahya.com, di sini kamu bisa mengikuti perdebatan seputar penemuan-penemuan manusia dari beberapa ilmuwan. Dengan mengikuti perdebatan itu tentu kamu akan bertambah kritis, luas wawasan dan tidak ketinggalan zaman dalam mengikuti perkembangan mutakhir seputar teori-teori mengenai penemuan manusia. 2. Perkembangan Manusia Purba di Indonesia Konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah barat yang disebut Paparan Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta Sumatra dan menjadi satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah yang luas. Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan Benua Australia. Wilayah yang terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul itu meliputi Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kawasan ini kelak, oleh Wallacea disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di kedua daratan. Karenanya, tipe fauna di kedua daratan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan dukungan iklim serta suhu yang baik, evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk Primates) bisa berlangsung. Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai daerah dengan mobilitas yang cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia bisa mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan Indonesia-Australia. Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara serta di Filipina, mungkin bisa digunakan untuk merunut kehidupan Pithecanthropus yang tinggal di kawasan ini. Kemudahan komunikasi itu memungkinkan mereka untuk mengadakan migrasi ke dalam dua arah yang berlawanan. Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es mulai mencair. Karena air laut menjadi lebih tinggi dan menutupi bagian-bagian rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-pulau baru yang saling terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu menjadi tercerai-berai dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling berlainan. Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi, sehingga memungkinkan faktor-faktor evolusi seperti seleksi alam, arus gen, dan efek perintis untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin sekali berbeda dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen atau perjodohan antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula karena pigminasi yaitu proses pengerdilan individu sebagai akibat adanya seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia purba yang ditmukan di kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di Flores pada tahun 2004.
0 komentar:
Posting Komentar